Kualitas Bensin


     Salah satu hasil pengolahan distilasi bertingkat minyak bumi adalah bensin,
yang dihasilkan pada kisaran suhu 30 °C – 200 °C. Bensin yang dihasilkan
dari distilasi bertingkat disebut bensin distilat langsung (straight run gaso-
line). Bensin merupakan campuran dari isomer-isomer heptana (C7H16) dan
oktana (C8H18). Bensin biasa juga disebut dengan petrol atau gasolin.
Sebenarnya fraksi bensin merupakan produk yang dihasilkan dalam jumlah
yang sedikit. Namun demikian karena bensin merupakan salah satu bahan bakar
yang paling banyak digunakan orang untuk bahan bakar kendaraan bermotor,
maka dilakukan upaya untuk mendapatkan bensin dalam jumlah yang besar.
Cara yang dilakukan adalah dengan proses cracking (pemutusan hidrokarbon
yang rantainya panjang menjadi hidrokarbon rantai pendek). Minyak bumi
dipanaskan sampai suhu 800 °C, sehingga rantai hidrokarbon yang kurang
begitu dibutuhkan dapat dipecah menjadi rantai pendek, sesuai rantai pada
fraksi bensin (Keenan, Kleinfelter, Wood, 1992).

     Mutu atau kualitas bensin ditentukan oleh persentase isooktana yang
terkandung di dalamnya atau yang biasa disebut sebagai bilangan oktan.
Dikatakan kualitas bensin ditentukan oleh isooktana (2,2,4–trimetilpentana),
hal ini terkait dengan efisiensi oksidasi yang dilakukan oleh bensin terhadap
mesin kendaraan. Efisiensi energi yang tinggi diperoleh dari bensin yang
memiliki rantai karbon yang bercabang banyak. 

     Adanya komponen bensin berantai lurus menghasilkan energi yang kurang efisien, artinya banyak energi yang terbuang sebagai panas bukan sebagai kerja mesin, dan hal ini menyebabkan terjadinya knocking atau ketukan pada mesin. Ketukan pada mesin ini menyebabkan mesin menjadi cepat rusak. Bensin premium memiliki bilangan oktan 82, sedangkan bensin super memiliki bilangan oktan 98. Untuk meningkatkan bilangan oktan bensin, ditambahkan satu zat yang disebut TEL (tetraetil lead) atau tetraetil timbal. 

Penambahan TEL dalam konsentrasi sampai 0,01% ke dalam bensin dapat menaikkan bilangan oktan, sehingga ketukan pada mesin dapat dikurangi. Namun demikian penggunaan TEL ini memberikan dampak yang tidak baik bagi kesehatan manusia. Hal ini disebabkan karena gas buang kendaraan bermotor yang bahan bakarnya mengandung TEL, menghasilkan partikel-partikel timbal. Partikel timbal yang terisap oleh manusia dalam kadar yang cukup tinggi, menyebabkan terganggunya enzim pertumbuhan. Akibatnya bagi anak-anak adalah berat badan yang berkurang disertai perkembangan sistem syaraf yang lambat. Pada orang dewasa, partikel timbal ini menyebabkan hilangnya selera makan, cepat lelah, dan rusaknya saluran pernapasan. Untuk itu sekarang sedang digalakkan penggunaan bensin tanpa timbal, yaitu dengan mengganti TEL dengan MTBE (metil tersier butil eter), yang memiliki fungsi sama untuk meningkatkan bilangan oktan, tetapi tidak melepaskan timbal di udara.

Minyak Pelumas dari Botol Plastik Bekas


     Percayakah Anda jika suatu saat nanti botol plastik bekas dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak pelumas untuk kendaraan bermotor? Jika tidak percaya, tanyakan saja pada  Stephen J. Miller, Ph.D., seorang ilmuwan senior dan konsultan peneliti di Chevron. Bersama rekan-rekannya di pusat penelitian Chevron Energy Tech nology Company, Richmond, California, Amerika Serikat dan University of Kentucky, ia berhasil mengubah limbah plastik menjadi minyak pelumas. Bagaimana caranya?

     Sebagian besar penduduk di dunia memanfaatkan plastik dalam menjalankan aktivitasnya. Berdasarkan data Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat, pada tahun 2001, penduduk Amerika Serikat menggunakan sedikitnya 25 juta ton plastik setiap tahunnya. Belum ditambah pengguna plastik di negara lainnya. Bukan suatu yang mengherankan jika plastik banyak digunakan. Plastik memiliki banyak kelebihan dibandingkan bahan lainnya. Secara umum, plastik memiliki densitas yang rendah, bersifat isolasi terhadap listrik, mempunyai kekuatan mekanik yang bervariasi, ketahanan suhu terbatas, serta ketahanan bahan kimia yang bervariasi. Selain itu, plastik juga ringan, mudah dalam perancangan, dan biaya pembuatan murah. Sayangnya, di balik segala kelebihannya, limbah plastik menimbulkan masalah
bagi lingkungan. Penyebabnya tak lain sifat plastik yang tidak dapat diuraikan dalam tanah. Untuk mengatasinya, para pakar lingkungan dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu telah melakukan berbagai penelitian dan tindakan. Salah satunya dengan cara mendaur ulang limbah plastik. Namun, cara ini tidaklah terlalu efektif. Hanya sekitar 4% yang dapat didaur ulang, sisanya menggunung di tempat penampungan sampah.

     Mungkinkah tumpukan sampah plastik ini dapat diubah menjadi minyak
pelumas? Masalah itulah yang mendasari Miller dan rekan-rekannya melakukan
penelitian ini. Sebagian besar plastik yang digunakan masyarakat merupakan jenis plastik polietilena. Ada dua jenis polietilena, yaitu high density polyethylene (HDPE) dan low density polyethylene (LDPE). HDP banyak digunakan sebagai botol plastik minuman, sedangkan LDPE untuk kantong plastik. Dalam penelitiannya yang akan dipublikasikan dalam Jurnal American 197 Chemical Society bagian Energi dan Bahan Bakar (Energy and Fuel) edisi 20 Juli 2005, Miller memanaskan polietilena menggunakan metode pirolisis, lalu  menyelidiki zat hasil pemanasan tersebut.

     Ternyata, ketika polietilena dipanaskan akan terbentuk suatu senyawa
hidrokarbon cair. Senyawa ini mempunyai bentuk mirip lilin (wax). Banyaknya plastik yang terurai adalah sekitar 60%, suatu jumlah yang cukup banyak. Struktur kimia yang dimiliki senyawa hidrokarbon cair mirip lilin ini memungkinkannya untuk diolah menjadi minyak pelumas berkualitas tinggi. Sekadar informasi, minyak pelumas yang saat ini beredar di pasaran berasal dari pengolahan minyak bumi. Minyak mentah (crude oil) hasil pengeboran minyak bumi di dasar bumi mengandung berbagai senyawa hidrokarbon dengan titik didih yang berbeda-beda. Kemudian, berbagai senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak mentah ini dipisahkan menggunakan teknik distilasi bertingkat (penyulingan) berdasarkan perbedaan titik didihnya. 

      Selain bahan bakar, seperti bensin, solar, dan minyak tanah, penyulingan minyak mentah juga menghasilkan minyak pelumas. Sifat kimia senyawa hidrokarbo cair dari hasil pemanasan limbah plastik mirip dengan senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak mentah, sehingga dapat diolah menjadi minyak pelumas.

     Pengubahan hidrokarbon cair hasil pirolisis limbah plastik menjadi minyak pelumas menggunakan metode hidroisomerisasi. Miller berharap minyak pelumas buatan ini dapat digunakan untuk kendaraan bermotor dengan kualitas yang sama dengan minyak bumi hasil penyulingan minyak mentah, ramah lingkungan, sekaligus
ekonomis.

     Sebenarnya, usaha pembuatan minyak sintetis dari senyawa hidrokarbon cair
ini bukan suatu hal baru. Pada awal 1990-an, perusahaan Chevron telah mencoba mengubah senyawa hidrokarbon cair menjadi bahan bakar sintetis untuk tujuan
komersial. Hanya saja bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan senyawa
hidrokarbon cair berasal dari gas alam (umumnya gas metana) melalui proses katalitik yang dikenal dengan nama proses Fischer-Tropsch. Pada proses Fischer-Tropsch ini, gas metana diubah menjadi gas sintesis (syngas), yaitu campuran antara gas hidrogen dan karbon monoksida, dengan bantuan besi atau kobalt sebagai katalis.

      Selanjutnya, syngas ini diubah menjadi senyawa hidrokarbon cair, untuk kemudian diolah menggunakan proses hydrocracking menjadi bahan bakar dan produk minyak bumi lainnya, termasuk minyak pelumas. Senyawa hidrokarbon cair hasil pengubahan dari syngas mempunyai sifat kimia yang sama dengan polietilena. 

     Gas alam yang digunakan berasal dari Amerika Serikat. Belakangan, daerah
lepas laut Timur Tengah menjadi sumber gas alam karena di sana harga gas alamlebih murah.

     Minyak pelumas dari gas alam ini untuk sementara dapat menjadi
alternatif minyak pelumas hasil pengolahan minyak bumi. Pada masa mendatang,
cadangan gas alam di dunia diperkirakan akan segera menipis. Di lain pihak, kebutuhanakan minyak pelumas semakin tinggi. Kini, dengan adanya penemuan ini, pembuatan minyak pelumas tampaknya tidak lagi memerlukan gas alam. Cukup dengan memanfaatkan limbah botol plastik, jadilah minyak pelumas. Tertarik mencoba?

Konsep Reaksi Oksidasi-Reduksi (Redoks)


Jika sepotong besi diletakkan di udara terbuka, ternyata lama-kelamaan logam
besi tersebut berkarat. Mengapa logam besi dapat berkarat dan reaksi apa yang
terjadi pada logam besi tersebut? Peristiwa perkaratan besi merupakan salah satu
contoh dari reaksi reduksi-oksidasi (redoks). Lalu apa yang dimaksud dengan reaksi
redoks? Ikuti pembahasan berikut ini.


A. Perkembangan Konsep Reaksi Reduksi-Oksidasi

Pengertian konsep reaksi reduksi-oksidasi telah mengalami tiga tahap
perkembangan sebagai berikut.

1. Berdasarkan Pengikatan dan Pelepasan Oksigen

a. Reduksi adalah reaksi pelepasan oksigen dari suatu senyawa
Reduktor adalah: 

1) Zat yang menarik oksigen pada reaksi reduksi.
2) Zat yang mengalami reaksi oksidasi.

Contoh:

1) Reduksi Fe2O3 oleh CO

Fe2O3 + 3 CO -------> 2 Fe + 3 CO2

2) Reduksi Cr2O3 oleh Al 

Cr2O3 + 2 Al -------> 2 Cr + Al2O3


b. Oksidasi adalah reaksi pengikatan (penggabungan) oksigen oleh suatu zat|
Oksidator adalah: 

Besi berkarat adalah contoh pengikatan oksigen
1) Sumber oksigen pada reaksi oksidasi.
2) Zat yang mengalami reduksi.

Contoh:

1) Oksidasi Fe oleh O2

4 Fe + 3 O2 -------> 2 Fe2O3

2) Pemangggangan ZnS

2 ZnS + 3 O2 -------> 2 ZnO + 2 SO


2. Berdasarkan Pengikatan dan Pelepasan Elektron

a. Reduksi adalah reaksi pengikatan elektron
Reduktor adalah:

1) Zat yang melepaskan elektron.
2) Zat yang mengalami oksidasi.

Contoh:

1) Cl2 + 2e¯ -------> 2 Cl¯
2) Ca2+ + 2e¯ -------> Ca 


b. Oksidasi adalah reaksi pelepasan elektron
Oksidator adalah:

1) Zat yang mengikat elektron.
2) Zat yang mengalami reduksi.

Contoh:

1) K -------> K+ + e¯

 
2) Cu -------> Cu2+ + 2 e¯


3. Berdasarkan Pertambahan dan Penurunan Bilangan Oksidasi

a. Reduksi adalah reaksi penurunan bilangan oksidasi.
Reduktor adalah:

1) Zat yang mereduksi zat lain dalam reaksi redoks.
2) Zat yang mengalami oksidasi.

Contoh:

2 SO3 -------> 2 SO2 + O2

Bilangan oksidasi S dalam SO3 adalah +6 sedangkan pada SO2
adalah +4. Karena unsur S mengalami penurunan bilangan oksidasi,
yaitu dari +6 menjadi +4, maka SO3 mengalami reaksi reduksi.
Oksidatornya adalah SO3 dan zat hasil reduksi adalah SO2.
b. Oksidasi adalah reaksi pertambahan bilangan oksidasi.
Oksidator adalah:
1) Zat yang mengoksidasi zat lain dalam reaksi redoks.
2) Zat yang mengalami reaksi reduksi.

Contoh:

4 FeO + O2 ⎯⎯ 2 Fe2O3
Bilangan oksidasi Fe dalam FeO adalah +2, sedangkan dalam Fe2O3
adalah +3. Karena unsur Fe mengalami kenaikan bilangan oksidasi,
yaitu dari +2 menjadi +3, maka FeO mengalami reaksi oksidasi.
Reduktornya adalah FeO dan zat hasil oksidasi adalah Fe2O3.


(James E. Brady, 1999)
“Jika suatu reaksi kimia mengalami reaksi reduksi dan oksidasi sekaligus
dalam satu reaksi, maka reaksi tersebut disebut reaksi reduksi-oksidasi atau
reaksi redoks.”

Contoh:

a. 4 FeO + O2 -------> 2 Fe2O3 (bukan reaksi redoks)

b. Fe2O3 + 3 CO -------> 2 Fe + 3 CO2 (reaksi redoks)